BERSAMA KITA BISA*** TOGETHER WE CAN

Sabtu, 02 Februari 2013

Relevansi Islam Dalam Masyarakat Majemuk Indonesia


Rasisme dan diskriminisme merupakan paham yang sangat paradok dengan kemajemukan. Jammes Monrou dengan doktrinnya “American is on America” telah menganggap bahwa bangsa Amerika paling baik dari bangsa lain. Benneto Mussolini dengan ajarannya, Fasisme Italia merasa bahwa bangsanya lebih mulia dari
bangsa lain. Hirohito dengan Fasisme Jepangnya mencetuskan bahwa bangsanya paling pantas memimpin dunia. Alhasil paham-paham tersebut tidak menghargai kemajemukan. Samuel Eto’o, pemain sepak bola asal Kamerun pun ikut menjadi salah satu korban rasisme, sehingga jauh-jauh hari Persatuan Sepakbola Eropa (UEF) mencanangkan program kampanye “Let’s Kick Racism out of Football”. Dan di Indonesia kita diinggatkan akan kerusuhan Mei 1998, di mana sasaran utamanya adalah orang-orang Tionghoa, masyarakat secara umum tidak melihatnya sebagai suatu tindakan biadab. Banyak yang mengutuk, dari luar negeri, Negara-negara sahabat, lembaga-lembaga PBB maupun lembaga HAM Internasional mengutuk keras rasial Mei 1998.
Penghargaan dalam Islam tidak berdasarkan ras, suku, keturunan, prestise, tapi penghargaan dalam Islam berdasarkan amal dan prestasi. Untuk mengetahui lebih dalam mengenai sikap Islam dan dunia kemajemukan, maka pada kesempatan ini kita bicarakan “MENGHADIRKAN ISLAM DI TENGAH MASYARAKAT MAJEMUK ”. Dengan rujukan surat Al-Hujurat, ayat 13 :

يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Artinya : “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Menurut ibnu Asy-Syakir dalam kitab Mubhamat bersumber dari abu bakar bin abu daud, bahwa ayat ini berkenaan dengan keinginan Rasulullah SAW untuk menikahkan Abi Hindin kepada seorang puteri dari kalangan Baidhah. Bani Baidhah dengan sinis berkata pada Rasulullah ” ya Rasulullah pantaskah kami mengawinkan putri-putri kami kepada budak-budak kami ? Rasul belum sempat menjawab saat itu, jibril datang menyampaikan surat Al-Hujurat ayat 13 yang diawali dengan يَاأَيُّهَا النَّاسُ, Menurut Imam Ali Ash-Shabuni dalam Shafwat al-Tafsir beliau menjelaskan :
أي خطاب لجميع البشر
Artinya : “objeknya adalah seluruh manusia”.
Bahwa manusia baik laki-laki maupun perempuan walau bercorak suku berlainan bangsa semuanya memiliki harkat dan martabat yang sama di hadapan Allah SWT. Fungsinya bukan untuk saling menutup diri, melecehkan, menghina, membangga-banggakan kelompok, suku bangsa, maupun daerah masing-masing. Sebab dengan tegas Rasulullah SAW bersabda :
ليس منا من دعا على عصبيته وليس منا من مات على عصبيته
Artinya : “Bukan golongan kita, orang yang membangga-banggakan kesukuan dan bukan golongan kita orang yang mati karena membela, mempertahankan dan memperjuangkan kesukuan.”
Ini berarti kemajemukan tersebut harus kita jadikan jembatan emas
لِتَعَارَفُوا أي  ليحصل بينكم التعارف والتألف
Artinya : “Agar kamu saling mengenal, yakni menjalin komunikasi yang harmoni dan menebarkan cinta kasih serta kasih sayang yang tiada pandang sayang.”
Demikian ungkapan Imam Ali Ashobuni dalam Safwat at Tafassir.


Kilas Balik Keunikan Islam Indonesia

Jika kita mendengar kata Indonesia, pasti bayangan kita tertuju kepada sebuah Negara yang mempunyai penduduk muslim terbanyak di dunia. Hampir 200 juta muslim berada di Negara yang kaya akan budaya ini. Itu artinya jumlah ini sama dengan 9 kali lipat jumlah penduduk negara Malaysia, atau sekitar 90 kali lipat jumlah penduduk Brunai Darussalam. Islam di Indonesia dengan jumlah muslim terbanyak ini sangat menarik untuk dibahas, terutama bentuk keislaman yang bisa dikatakan berbeda dengan bentuk keislaman di negara-negara lain.


Menarik untuk ditelisik bagaimana Indonesia bisa menjadi juara dalam jumlah muslim terbanyak di dunia, mengalahkan Arab Saudi sebagai asal agama Islam sendiri, mengingat posisi geografis wilayah ini berbeda jauh dari pusat-pusat Isma di Timur Tengah. Indonesia memang dikenal sebagai titik pusat rute perdagangan yang dilakukan oleh negara-negara yang sudah berkembang bahkan maju. Kesibukan lalu lintas perdagangan pada abad ke-7 hingga ke-16 M membuat pedagang-pedagang muslim (Arab, Persia, dan India), turut ambil bagian dalam perdagangan dari negeri-negeri bagian barat, tenggara dan timur benua Asia.


Lebih lanjut, proses Islamisasi yang terjadi di negara ini tidak memerlukan pedang atau tameng untuk dibawa para tabligh Islam pada masa itu, kondisi yang sama sekali tidak sama dalam hal proses islamisasi yang terjadi di wilayah-wilayah lain. Islamisasi yang dilakukan oleh juru dakwah dan para pedagang yang singgah di Indonesia menggunakan jalur damai. Selain itu, kondisi Timur Tengah saat itu juga berpengaruh dalam penyebaran Islam di Indonesia, dimana mereka yang menyebarkan Islam sebenarnya dalam kondisi yang terseok-seok lelah kalah di medan perang. Para ahli menggambarkan proses damai itu dengan dua cara, pertama masyarakat Indonesia berkenalan dengan agama Islam kemudian menganutnya, kedua orang-orang asing seperti Arab, India, China dan lain-lain, yang telah memeluk agama Islam yang bertempat tinggal disuatu daerah di kepulauan Nusantara, dan melakukan perkawinan dengan penduduk setempat sehingga menghasilkan kelompok-kelompok Muslim.


Islam di Indonesia juga mempunyai corak khas, dimana Islam berkembang seiring dengan kepercayaan dan budaya yang telah ada pada masyarakat Indonesia. Penerimaan Islam di Indonesia dapat dikatakan melalui adhesi, yaitu konversi ke dalam Islam tanpa meniggalkan kepercayaan dan praktik keagamaan yang lama. Pada umumnya orang-orang Melayu-Indonesia menerima Islam karena mereka percaya bahwa Islam akan memuaskan kebutuhan materi dan alamiah mereka. Di kalangan mayoritas penduduk, Islam hanya memberikan satu bentuk tambahan kepercayaan dan praktik yang dapat berubah sesuai dengan tujuan-tujuan tertentu. Adalah sebagian besar juru dakwah Islam di Nusantara seperti halnya Wali Songo di pulau Jawa, yang mengenalkan Islam kepada penduduk lokal justru dalam bentuk kompromi dengan kepercayaan lokal yang banyak diwarnai takhayul atau kepercayaan animistik lainnya, bukan dalam bentuk eksklusivitas profetik. (Aris Munandar, Agus, 2009)

Pluralis, Watak Moderat Yang Relevan Bagi Indonesia

Menurut penulis, Islam yang relevan bagi masyarakat majumuk Indonesia adalah Islam yang menganut pluralisme dan kultural, yang dibingkai dalam Islam moderat. Watak ini sejalan dengan maksud agama Islam yang menciptakan kehidupan yang damai lintas umat beragama, maupun budaya.


Pluralisme adalah bagian dari watak moderat, yang menurut penulis cocok untuk masyarakat Indonesia yang majemuk. Indoneis dengan penduduk terbanyak ke empat dunia, terdiri dari berbagai latar belakang suku bangsa, agama, kebudayaan, adat istiadat dan lain sebagainya. Perbedaan latar belakang tersebut terkait dalam motto Bhineka Tunggal Ika, yang artinya walaupun berbeda-beda tapi tetap satu jua. Hal ini berdampak pada bentuk keislaman di Indonesia yang cenderung pluralis. Kata pluralis juga berasal dari bahasa inggris, yang berarti jamak atau banyak, sehingga dapat juga diartikan bahwa Islam pluralis menunjukkan paham keberagaman yang didasarkan pada pandangan bahwa agama-agama lain yang ada di dunia ini sebagai yang mengandung kebenaran dan memberikan manfaat serta keselamatan bagi para penganutnya. (Abuddin Nata, 2001)


Paham pluralisme dengan begitu, sangat menghendaki terjadinya dialog antaragama, dan dengan dialog agama memungkinkan antara satu agama terhadap agama lain untuk mencoba memahami cara baru yang mendalam mengenai bagaimana Tuhan mempunyai jalan penyelamatan. Pengakuan terhadap pluralisme agama dalam suatu komunitas umat beragama menjanjikan dikedepankanya prinsip inklusifitas yang bermuara pada tumbuhnya kepekaan terhadap berbagai kemungkinan unik yang bisa memperkaya usaha manusia dalam mencari kesejahteraan spritual dan moral. (Syamsul Ma’arif, 2006)


Bahkan menurut Al-Quran sendiri, pluralitas adalah salah satu kenyataan objektif komunitas umat manusia, sejenis hukum Allah atau Sunnah Allah, dan bahwa hanya Allah yang tahu dan dapat menjelaskan, di hari akhir nanti, mengapa manusia berbeda satu dari yang lain, dan mengapa jalan manusia berbeda-beda dalam beragama. Dalam al-Qura’an disebutkan, yang artinya: “Untuk masing-masing dari kamu (umat manusia) telah kami tetapkan Hukum (Syari’ah) dan jalan hidup (minhaj). Jika Tuhan menghendaki, maka tentulah ia jadikan kamu sekalian umat yang tunggal (monolitk). Namun Ia jadikan kamu sekalian berkenaan dengan hal-hal yang telah dikarunia-Nya kepada kamu. Maka berlombalah kamu sekalian untuk berbagai kebajikan. Kepada Allah-lah tempat kalian semua kembali; maka Ia akan menjelaskan kepadamu sekalian tentang perkara yang pernah kamu perselisihkan” (QS 5: 48).


Jika kita membaca dari ayat tersebut secara kritis dan penuh keterbukaan, maka kita akan menemukan suatu kesimpulan bahwa Allah SWT sendiri sebenarnya secara tegas telah menyatakan bahwa ada kemajemukan di muka bumi ini. Perbedaan laki-laki dan perempuan, perbedaan suku bangsa adalah realitas pluralitas yang harus dipandang secara positif dan optimis. Perbedaan itu, harus diterima sebagai kenyataan dan berbuat sebaik mungkin atas dasar kenyataan itu. Bahkan kita diminta untuk menjadikan pluralitas tersebut sebagai instrumen untuk menggapai kemuliaan di sisi Allah SWT, dengan jalan mengadakan interaksi sosial antara individu, baik dalam konteks pribadi atau bangsa.


Demikianlah beberapa prinsip dasar Alquran yang berkaitan dengan masalah pluralisme dan toleransi. Paling tidak, dalam dataran konseptual, Alquran telah memberi resep atau arahan-arahan yang sangat diperlukan bagi manusia Muslim untuk memecahkan masalah kemanusiaan universal, yaitu realitas pluralitas keberagamaan manusia dan menuntut supaya bersikap toleransi terhadap kenyataan tersebut demi tercapainya perdamaian di muka bumi. Karena Islam menilai bahwa syarat untuk membuat keharmonisan adalah pengakuan terhadap komponen-komponen yang secara alamiah berbeda.


Paham pluralis ini, penulis menitik beratkan, sangat relevan bagi masyarakat Indonesia yang majemuk, karena terdapat keanekaragaman, tidak hanya agama tapi juga budaya, adat istiadat dan bahasa dalam negara ini. Dengan digunakannya paham ini, diharapkan keadaan yang damai karena setiap orang mempunyai tepo slero, tenggang rasa satu sama lain walaupun terbatasi oleh perbedaan yang ada.


Dengan demikian, melalui watak yang moderat ini Islam di Indonesia dapat menjadi ummat wasathan, ummat yang dapat berlaku adil, bergerak dinamis dan sebagai penengah berkaitan dengan perrgolakan yang terjadi dalam kehidupan sosial beragama.


Allah berfirman:


وكذلك جعلناكم أمة وسطا لتكونوا شهداء على الناس ويكون الرسول عليكم شهيدا وما جعلنا القبلة التي كنت عليها إلا لنعلم من يتبع الرسول ممن ينقلب على عقبيه وإن كانت لكبيرة إلا على الذين هدى الله وما كان الله ليضيع إيمانكم إن الله بالناس لرؤوف رحيم


“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia”. (QS Albaqarah: 143)


Ummatan wasathan adalah umat yang memiliki kebersamaan, kedinamisan dalam gerak, arah dan tujuannya, serta memiliki aturan-aturan kolektif yang berfungsi sebagai penengah atau pembenar. Dengan demikian keseimbangan, kebersamaan, kemodernan merupakan prinsip etis mendasar yang harus diterapkan dalam segala aktivitas. Pada dasarnya ummat Islam adalah merupakan umat yang ideal, karena ia merupakan umat yang disebut oleh Allah dengan ummatan wasathan. Umat 'pertengahan' itu berarti umat yang mengambil sikap tengah, tidak ke kanan atau ke kiri seperti yang banyak berkembang dalam alam pemikiran kontemporer.


كنتم خير أمة أخرجت للناس تأمرون بالمعروف وتنهون عن المنكر وتؤمنون بالله ولو آمن أهل الكتاب لكان خيرا لهم منهم المؤمنون وأكثرهم الفاسقون


“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”.( QS Ali Imron: 110)


Konsep ummatan wasathan secara tidak langsung merupakan sebuah konsep Islam yang memberikan jalan untuk memadukan antara agama, ekonomi, dan sosial demi membentuk kesatuan. untuk menegakkan konsep seperti ini, kebersamaan adalah poin penting yang harus benar-benar diupayakan. Setelah dapat menjalankan sesuatu dengan kesepakatan, maka akan didapat sebuah pergerakan (ketetapan dan pelaksanaan) yang dinamis, dan akhirnya tujuan umat dapat tercapai dengan baik.


Dengan demikian, Islam yang berwatak moderatlah yang paling relevan dalam masyarakat majemuk di Indonesia. . Islam di Indonesia telah mempunyai corak kedaerahannya sendiri-sendiri, karena memang dalam awal sejarahnya Islam berkembang melalui jalu damai tanpa adanya pemaksaan dengan memanfaatkan fenomena budaya yang telah ada. Watak ini kemudian, diharapkan bisa mencapai arti ummah wasathan, umat yang mampu berlaku adil, bergerak dinamis dan sebagai penengah berkaitan dengan pergolakan yang terjadi dalam kehidupan sosial beragama. Sehingga, Islam dari Indonesialah yang dapat menjadi aktor utama dalam mengimplementasikan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin.



REFERENSI

Ø Aris Munandar, Agus, dkk, 2009, Sejarah Kebudayaan Indonesia, Religi dan Falsafah,
    Rajawali Pers, Jakarta
Ø Azra, Azyumardi, 2002, Islam Nusantara, Jaringan Global dan Lokal, Mizan, Jakarta
Ø http://islamlib.com/id/artikel/islam-pluralisme-dan-kemerdekaan-beragama/
Ø http://www.rubiyanto.com/2011/10/ummatan-wasathan.html
Ø http://padepokansyarhilquranlampung.wordpress.com/2012/09/16/menghadirkan-islam-di-tengah-
    masyarakat-majemuk/
Ø http://www.wahdah.or.id/wis/index.php?option=com_content&task=view&id=538&Itemid=193
Ø Ma’arif, Syamsul, 2006, Islam dan Pendidikan Pluralisme
Ø Nata, Abuddin, 2001, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta

0 komentar: