BERSAMA KITA BISA*** TOGETHER WE CAN

Sabtu, 02 Februari 2013

Memberantas Korupsi dalam Perspektif Islam



Maraknya kasus korupsi yang timbul akhir-akhir ini membuat siapa saja yang mendengar menjadi teriris hatinya. Betapa tidak, jika kita lihat masih banyak di luar sana masyarakat yang hidup dibawah garis kemiskinan yang kesehariannya makan gak makan yang penting kumpul. Mereka memaknai kebahagiaan dengan hal yang sangat sederhana, yang penting anaknya bisa makan saya senang, yang penting kita kumpul kita sudah merasa bahagia. Namun di sisi lain para pejabat yang notabene hidupnya lebih dari layak bahkan tergolong mewah masih saja berlomba-lomba menimbun harta dengan cara yang mereka anggap wajar “KORUPSI”.

Miris hati rasanya ketika melihat gaya hidup para pejabat yang bermewah-mewah tanpa mau mengerti dan berbagi kepada yang membutuhkan. Akan tetapi, gaya hidup dan tuntutan mereka tidak mereka barengi dengan kinerja yang maksimal. Ada saja ulahmereka yang bikin rakyat makin geregetan. Ada yang tidur waktu rapat, ada yang sms-an waktu rapat, ada yang baca koran, ada yang malah nonton video ini itu, ada yang hobi kunjungan dengan menggunakan uang negara, dan ada ada saja yang lainnya yang rata-rata hanya yang penting saya senang,, biar rakyat menderita bukan urusan saya karna mereka ditanggung negara.

Jika digali lebih dalam, sebenarnya apa yang para pejabat kaya itu cari?? Hidup lebih dari mapan, makan enak, baju bagus, uang berlipat bahkan bergudang, anak-anak sehat, mobil mewah, rumah dimana-mana, bahkan uang saku anak 3 juta perbulan. Lantas, apalagi yang mereka cari sehingga masih bisa untuk mengambil langkah korupsi sebagai media untuk memperbanyak harta? Apa yang akan mereka lakukan dengan harta yang berlipat itu, sedang harta itu sendiri tidak akan dibawa mati?

Pernahkan terfikir dalam benak para pejabat yang agung untuk sekedar menyisihkan harta mereka setiap bulan barang satu atau dua juta saja untuk mereka sumbangkan atau mereka kumpulkan guna membantu rakyat kecil yang sangat membutuhkan. Entah uang itu akan dibangunkan sebagai lahan usaha, entah uang itu akan diberikan sebagai modal.. yang jelas, pernahkan terbersit dalam benak mereka untuk melakukan itu? Toh, satu atau dua juta perbulan tidak akan membuat hidup mereka jatuh miskin.

Alangkah indahnya hidup ini jika para pejabat bisa dan mau berfikir sedemikian tentu masyarakat Indonesia takkan banyak yang hidup dibawah garis kemiskinan.

Istilah Korupsi dalam Islam


Tak terasa hampir empat belas tahun telah berlalu masa reformasi Indonesia yang menggemakan basmi korupsi,  namun kini gaung anti korupsi mulai terasa hilang dan hambar. Bahkan, perilaku korupsi pun sekarang sepertinya sudah dianggap wajar. Penumpasan tindakan korupsi memang tidak mudah, apalagi bila kejahatan tersebut terorganisir. Tetapi bagaimanapun, korupsi harus tetap dilawan karena korupsi merupakan tindakan jahat yang telah merugikan rakyat dan negara. Kartini Kartono (Patologi Sosial, Grafindo Persada 1997) mendefinisikan korupsi sebagai tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara.
Penumpasan korupsi ini tidak sebatas kewajiban pemerintah atau lembaga pembasmi korupsi, tetapi juga harus ada kesadaran dari masyarakat itu sendiri untuk tidak berlaku tindakan korupsi. Korupsi yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berasal dari kata korup yang berarti buruk, rusak, busuk, memakai barang/uang yang dipercayakan, dapat disogok. Mengorup adalah merusak, menyelewengkan (menggelapkan) barang (uang) milik perusahaan (negara) tempat kerja. Korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dsb) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Mengorupsi berarti menyelewengkan atau menggelapkan (uang dsb).
Jelaslah, bahwa korupsi merupakan tindakan kejahatan yang harus ditumpas. Dalam khazanah hukum Islam, tidak ditemukan istilah korupsi. Namun, hukum yang mengarah pada tindakan korupsi seperti dalam pengertian di atas dapat dilihat pada unsur berikut ini : 

1. Ghulûl
Ghulûl adalah isim masdar dari kata ghalla, yaghullu, ghallan, wa ghullan, wa ghulûlan (Ibnu Manzur, Lisânul ‘Arab) yang secara leksikal dimaknai akhadza al-syai’a fi khufyatin wa dassahu fi matâ’thî (mengambil sesuatu secara sembunyi-sembunyi dan memasukkan ke dalam hartanya) (M. Rawwas, Mu’jam Lughât al-Fuqahâ) dan khâna (khianat atau curang).
Rasulullah Saw menjelaskan kata ghulul dalam hadis riwayat Adi bin Amirah al-Kindi, Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), lalu dia menyembunyikan dari kami sebatang jarum atau lebih dari itu, maka itu adalah ghulûl (harta korupsi) yang akan dia bawa pada hari kiamat.”
Kemudian ada seorang lelaki hitam dari Anshar berdiri menghadap Nabi Saw, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, copotlah jabatanku yang engkau tugaskan.” Nabi Saw bertanya, “Ada apa gerangan?” Dia menjawab, “Saya mendengar engkau berkata demikian dan demikian,” Beliau Saw pun bersabda, “Aku katakan sekarang, bahwa barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), hendaklah dia membawa (seluruh hasilnya), sedikit ataupun banyak. Kemudian, apa yang diberikan kepadanya, maka dia boleh mengambilnya (halal). Sedangkan apa yang dilarang, maka tidak boleh.’” (HR. Muslim)
Dalam riwayat Buraidah, Rasulullah juga menegaskan makna ghulûl, beliau bersabda, “Barangsiapa yang kami tugaskan dengan suatu pekerjaan, lalu kami tetapkan imbalan (gaji) untuknya, maka apa yang dia ambil di luar itu adalah harta ghulûl (korupsi).” (HR. Abu Daud)

2. Hadiah/Gratifikasi
Kata hadiah berasal dari bahasa Arab, hadiyyah, yang berarti hadiah. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hadiah adalah pemberian (kenang-kenangan, penghargaan, penghormatan), ganjaran (karena memenangkan suatu perlombaan), tanda kenang-kenangan (tt perpisahan). Hadiah dapat juga disebut hibah.
Pada dasarnya hadiah merupakan hal yang diperbolehkan, bahkan dianjurkan untuk saling memberi hadiah. Suatu pemberian dengan tujuan mengharapkan ridha Allah Swt untuk memperkuat tali silaturahmi atau menjalin ukhuwah Islamiah. Nabi Saw bersabda, “Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian saling mencinta.” (HR. Imam Malik)
Adapun jika memberi hadiah untuk kepentingan tertentu, seperti memberi hadiah kepada orang yang memiliki suatu jabatan, kekuasaan atau wewenang, maka pemberian hadiah tersebut terlarang. Hadiah seperti ini disebut juga dengan gratifikasi, yaitu uang hadiah kepada pegawai di luar gaji yang telah ditentukan. Rasulullah Saw melarang jenis hadiah (gratifikasi) seperti ini, beliau bersabda, “Hadiah bagi para pekerja adalah ghulul (korupsi).” (HR. Ahmad)
Imam Syafi’i (w. 820 M), dalam kitabnya Al-Umm, menyatakan bahwa apabila seorang warga masyarakat memberikan hadiah kepada seorang pejabat, maka bilamana hadiah itu dimaksudkan untuk memperoleh—melalui atau dari pejabat itu—suatu hak, maka haram atas pejabat bersangkutan untuk menerima hadiah tersebut. 

3. Risywah
Istilah lain yang juga merupakan salah satu bentuk korupsi adalah risywah, yang berasal dari kata rasya, yarsyu, rasywan wa rasywah wa risywah wa rusywah yang berarti memberi suap atau sogok kepadanya.
Orang yang menyuap disebut al-rusyi yaitu orang yang memberikan sesuatu kepada seseorang yang bisa membantunya atas dasar kebatilan. Adapun orang yang mengambil atau menerima pemberian itu disebut al-murtasyi. Sementara orang yang menjadi perantara antara pemberi dan penerimanya dengan menambahi di suatu sisi dan mengurangi di sisi lain disebut al-ra’isy.
Umar bin Khaththab mendefinisikan bahwa risywah adalah sesuatu yang diberikan/disampaikan oleh seseorang kepada orang yang mempunyai kekuasaan (jabatan, wewenang) agar ia memberikan kepada si pemberi sesuatu yang bukan haknya). Risywah (suap) merupakan perbuatan yang dilarang oleh Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’ Ulama. Larangan tersebut berlaku bagi yang memberi, menerima dan yang menjadi penghubung di antara keduanya.
Di dalam Al-Qur’an, Allah Swt berfirman, “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (Al-Baqarah [2]: 188)

4. Suht
Suht secara bahasa berasal dari kata kerja sahata yashatu suhtan wa suhutan yang berarti memperoleh harta haram. Ibnu Manzur menjelaskan arti suht, yaitu semua yang haram. Suht juga diartikan sesuatu yang terlarang, yang tidak halal dilakukan karena akan merusak atau menghilangkan keberkahan.
Bukhari mengutip pendapat Ibnu Sirin bahwa suht adalah risywah (suap menyuap) dalam perkara hukum atau kebijakan. Malik juga meriwayatkan bahwa orang-orang Yahudi di Khaibar pernah akan menyuap Abdullah bin Rawahah r.a dengan sejumlah perhiasan agar memberikan keringanan atau keuntungan tertentu bagi mereka, tetapi Ibnu Rawahah berkata, “Apa pun yang kamu sodorkan dari suap, maka hal itu adalah suht (yang haram) dan kami tidak akan memakannya.”
 
5. Khâna
Khâna berarti ghadara (berkhianat, tidak jujur), naqadha, khâlafa (melanggar dan merusak). Ar-Raqib al-Isfahani, seorang pakar bahasa Arab, berpendapat bahwa khianat adalah sikap tidak memenuhi suatu janji atau suatu amanah yang dipercayakan kepadanya. Ungkapan khianat juga digunakan bagi seseorang yang melanggar atau mengambil hak-hak orang lain, dapat dalam bentuk pembatalan sepihak perjanjian yang dibuatnya, khususnya dalam masalah mu’amalah. Khianat juga digunakan kepada orang yang mengingkari amanat politik, ekonomi, bisnis (mu’amalah), sosial dan pergaulan. 

Khianat adalah tidak menepati amanah. Oleh karena itu, Allah Swt sangat membenci dan melarang berkhianat. Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS. Al-Anfal: 27)
Khianat yang semakna dengan pengertian korupsi, yaitu pengkhianatan terhadap amanah dan sumpah jabatan. Rasulullah Saw menggambarkan orang yang berbai’at tidak berdasarkan pada kebenaran dan ketakwaan, beliau bersabda, “Ada tiga kelompok manusia yang Allah Swt tidak mau berbicara kepada mereka di Hari Kiamat dan tidak mau menyucikan (dosa atau kesalahan) mereka dan bagi mereka siksa yang pedih, yaitu pertama, orang yang memiliki kelebihan air di perjalanan tetapi ia menghalangi Ibnu Sabil (para pejalan, musafir) untuk mendapatkannya. Kedua, orang yang memberikat bai’at kepada seorang pemimpin hanya karena kepentingan duniawi. Jika ia diberi sesuai keinginannya, ia akan memenuhi bai’at itu dan jika tidak diberikan, ia tidak memenuhi bai’atnya. Dan ketiga, orang yang menjual dagangan kepada seseorang di sore hari sesudah Asar, lalu ia bersumpah kepada Allah bahwa barang tersebut telah ia berikan (tawaran) dengan harga sekian dan sekian (untuk mengecoh pembeli) lalu ia membenarkannya, kemudian si pembeli jadi membelinya, padahal si penjual tidak memberikan (tawaran) dengan harga sekian atau sekian.” (HR. Bukhari)
 
6. Sariqah
Sariqah berasal dari kata saraqa yasriqu sarqan wa sariqah yang secara leksikal bermakna akhadza mâ lighairi khufyatan, yang berarti mencuri. Sariqah juga bermakna nahab (merampok), syahshan (menculik), syaian qalîlan (mencuri barang kecil, mencopet), dan muallafan (menjiplak, melakukan plagiat).
Para koruptor telah mencuri harta negara yang diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat, sedangkan dalam Islam sendiri berkeyakinan bahwa orang yang melakukan pencurian bukalah orang yang beriman, karena seorang yang beriman, ia tidak mungkin akan melakukan korupsi atau pencurian sebagaimana sabda Rasulullah Saw, Pencuri tidak akan mencuri ketika ia dalam keadaan beriman.” (HR. Bukhari)


Memberantas Korupsi Menurut Perspektif Islam 

AGAKNYA persoalan dan informasi seputar korupsi sudah biasa di Indonesia. Kasus demi kasus bermunculan yang melibatkan pengurus-pengurus partai dan anggota dewan yang seyogianya sebagai pengayom rakyat tetapi sebaliknya menyengsarakan rakyat.

Kasus Nazaruddin dengan wisma atlitnya yang tidak sedikit merambah ke berbagai pihak adalah satu contoh kecil dari sistem budaya korupsi yang semakin meningkat.Dalam Islam tindakan korupsi adalah perbuatan haram. Keharamannya cukup jelas karena mengambil sesuatu yang bukan haknya atau mengambil hak orang lain.

Tindakan korupsi memberikan dampak cukup fatal kepada negara dan masyarakat dengan menghilangkan kekayaan negara yang digunakan untuk kepentingan pribadi maupun kelompok tertentu.

Islam tidak saja mengharamkan korupsi tetapi juga memberikan solusi untuk melakukan tindakan preventif pencegahan supaya tidak terjadinya korupsi. Dalam konteks Indonesia perlu kiranya menelusuri dan menerapkan tawaran Islam dalam memberantas korupsi yang sudah menggurita dalam segala bidang. Setidaknya, ada enam langkah yang dapat dilakukan yaitu:

Pertama, larangan menerima suap dan hadiah. Hadiah dan suap yang diberikan seseorang kepada aparat pemerintah pasti mengandung maksud agar aparat itu bertindak menguntungkan pemberi hadiah. Tentang suap Rasulullah berkata, “Laknat Allah terhadap penyuap dan penerima suap” (HR Abu Dawud).

Tentang hadiah kepada aparat pemerintah, Rasul berkata, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur” (HR Imam Ahmad). Suap dan hadiah akan berpengaruh buruk pada mental aparat pemerintah. Aparat bekerja tidak sebagaimana mestinya.

Kedua, Penghitungan kekayaan. Menurut kesaksian anaknya, yakni Abdullah bin Umar, Khalifah Umar pernah mengkalkulasi harta kepala daerah Sa’ad bin Abi Waqash. Putranya ini juga tidak luput kena gebrakan bapaknya. Ketika Umar melihat seekor unta gemuk milik anaknya di pasar, beliau menyitanya.

Hal ini dilakukan Umar karena unta anaknya itu gemuk digembalakan bersama-sama unta-unta milik Baitul Mal di padang gembalaan terbaik. Ketika Umar menyita separuh kekayaan Abu Bakrah, dia itu berkilah “ Aku tidak bekerja padamu “. Jawab Khalifah, “Benar, tapi saudaramu yang pejabat Baitul Mal dan bagi hasil tanah di Ubullah meminjamkan harta Baitul Mal padamu untuk modal bisnis !” Bahkan, Umar pun tidak menyepelekan penggelapan meski sekedar pelana unta..

Apa yang dilakukan Umar merupakan contoh baik bagaimana harta para pejabat dihitung, apalagi mereka yang disinyalir terlibat korupsi. Seluruh yayasan, perusahaan-perusahaan, ataupun uang yang disimpan di bank-bank dalam dan luar negeri semuanya diusut.

Kalau perlu dibuat tim khusus yang independen untuk melakukannya, seperti halnya Muhammad bin Maslamah pernah diberi tugas khusus oleh Umar untuk hal tersebut. setelah melalui proses itu, dibuktikan pula lewat pengadilan.

Syekh Taqiyyuddin dalam bukunya Ahkamul Bayyinat menegaskan bahwa pembuktian itu bisa berupa pengakuan dari si pelaku, sumpah, kesaksian, dan dokumentasi tertulis. Kaitannya dengan dokumentasi tertulis ini Allah Swt. menegaskan di dalam Alquran, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kalian menuliskannya.

Hendaklah penulis di antara kalian menuliskannya dengan benar. Janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya…” (QS al-Baqarah: 282). Bila dicermati, penulisan dokumen ini sebenarnya merupakan bukti tentang siapa yang berhak dan apa yang terjadi. Oleh karena kata “maka tuliskanlah (faktubuh)” dalam ayat tersebut umum, maka mencakup semua muamalah dan semua dokumen termasuk perjanjian, katabelece, keputusan pemerintah yang dibuatnya, dan lain-lain.

Ketiga, keteladanan pemimpin. Khalifah Umar menyita sendiri seekor unta gemuk milik putranya, Abdullah bin Umar, karena kedapatan digembalakan bersama di padang rumput milik Baitul Mal Negara. Hal ini dinilai Umar sebagai bentuk penyalahgunaan fasilitas negara.

Demi menjaga agar tidak mencium bau secara tidak hak, Khalifah Umar bin Abdul Azis sampai menutup hidungnya saat membagi minyak kesturi kepada rakyat. Dengan teladan pemimpin, tindak penyimpangan akan mudah terdeteksi sedari dini. Penyidikan dan penyelidikan tindak korupsi pun tidak sulit dilakukan. Tapi bagaimana bila justru korupsi dilakukan oleh para pemimpin? Semua upaya apa pun menjadi tidak ada artinya sama sekali.

Keempat, hukuman yang berat. Pada umumnya, orang akan takut menerima risiko yang akan mencelakaan dirinya. Hukuman dalam Islam memang berfungsi sebagai zawajir(pencegah). Artinya, dengan hukuman setimpal atas koruptor, diharapkan orang akan berpikir sekian kali untuk melakukan kejahatan itu.

Korupsi adalah perbuatan yang tidak secara mencederai atau mengakibatkan mudarat bagi segelintir atau sekelompok orang tetapi rakyat. Maka seyogianya hukuman yang diberikan mesti cukup berat untuk memberikan efek jera dan sanksi sosial kepada pelaku korupsi.

Kelima, Sistem penggajian yang layak. Aparat pemerintah harus bekerja dengan sebaik-baiknya. Hal itu sulit berjalan dengan baik bila gaji tidak mencukupi. Para birokrat tetaplah manusia biasa yang mempunyai kebutuhan hidup serta kewajiban untuk mencukup nafkah keluarga.

Agar bisa bekerja dengan tenang dan tidak mudah tergoda berbuat curang, mereka harus diberikan gaji dan tunjangan hidup lain yang layak. Berkenaan dengan pemenuhan kebutuhan hidup aparat pemerintah, Rasul dalam hadis riwayat Abu Dawud berkata, “Barang siapa yang diserahi pekerjaan dalam keadaan tidak mempunyai rumah, akan disediakan rumah, jika belum beristri hendaknya menikah, jika tidak mempunyai pembantu hendaknya ia mengambil pelayan, jika tidak mempunyai hewan tunggangan (kendaraan) hendaknya diberi. Adapun barang siapa yang mengambil selainnya, itulah kecurangan”.

Keenam, pengawasan masyarakat. Masyarakat dapat berperan menyuburkan atau menghilangkan korupsi. Masyarakat yang bermental instan akan cenderung menempuh jalan pintas dalam berurusan dengan aparat dengan tak segan memberi suap dan hadiah. Adapun masyarakat yang mulia akan turut mengawasi jalannya pemerintahan dan menolak aparat yang mengajaknya berbuat menyimpang.

Demi menumbuhkan keberanian rakyat mengoreksi aparat, Khalifah Umar di awal pemerintahannya menyatakan, “Apabila kalian melihatku menyimpang dari jalan Islam, maka luruskan aku walaupun dengan pedang”.

Dengan pengawasan masyarakat, korupsi menjadi sangat sulit dilakukan. Maka masyarakat harus pro aktif dalam memberantas korupsi di Indonesia baik dalam bentuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), mahasiswa, dan sebagainya.

0 komentar: