BERSAMA KITA BISA*** TOGETHER WE CAN

Selasa, 12 Februari 2013

Peran Profetik Agama



Sejak awal kemerdekaan, para pemimpin dan organisasi keagamaan di Indonesia terlibat aktif berbagai perbincangan diskursus untuk mendefinisikan hubungan progresif antara agama dan negara demokrasi, keterlibatan itu semakin intensif pada masa transisi saat ini Sedikitnya, telah ditemukan beberapa tipologi model konstitusional yang dapat dipertimbangkan sebagai suatu pilihan. Pertama, teokrasi, yaitu suatu negara di mana kebijakan publik sepenuhnya ditentukan oleh denominasi agama tertentu.
Kedua, negara sebagian agama, sebagian sekuler. Model ini menyediakan power sharing antara negara dan denominasi agama tertentu, tetapi kebijakan publik tetap didominasi tafsir-tafsir keagamaan dan pandangan moral agama tertentu. Ketiga, negara sekuler dengan interaksi antara negara dan organisasi-organisasi keagamaan di mana agama tetap didorong memainkan peran penting dalam mempengaruhi kebijakan publik. Keempat, negara sekuler, di mana organisasi-organisasi keagamaan ditolerir sepanjang berada dalam ruang privat, tetapi tidak ada aktivitas bersama negara. Dengan kata lain, pandangan keagamaan tidak mendapat perhatian dalam perumusan kebijakan publik. Kelima, negara sekuler dan ateistik di mana agama ditindas dan diberangus. Tampaknya opsi ketiga lebih mendekati cetak-biru the founding fathers negeri kita untuk apa yang disebut "bina bangsa" dan "bina negara".
Para pemimpin agama berkewajiban menjaga peran historis mereka sebagai kesadaran moral masyarakat dan mengangkat suara protes terhadap pelanggaran martabat manusia. Hal itu hanya dapat dicapai bila organisasi-organisasi keagamaan menjaga integritas moral dan spiritualnya bukan dengan mengalah kepada tekanan dan godaan partai politik tertentu, tetapi bersikap positif netral vis-a-vis semua partai politik.
Agama memang perlu mengambil jarak dari politik agar dapat memberikan sinar pencerahan profetiknya. Sungguh kita perlu menyepakati, tidak ada gerakan keagamaan yang akan diterima sebagai suatu gerakan politik. Sebab, jika tidak, para politisi akan berlindung di balik agama dan memangsa kehidupan masyarakat, sebagaimana telah mereka lakukan. Sejak dahulu, para manipulator telah menggunakan agama untuk memperbudak manusia. Dalam konteks kehidupan sosial kemasyarakatan, hubungan antara agama dan politik jelas memiliki suatu keterkaitan, namun tetap harus dibedakan. Satu pihak, masyarakat agama memiliki kepentingan mendasar agar agama tidak dikotori oleh kepentingan politik, karena bila agama berada dalam dominasi politik, maka agama akan sangat mudah diselewengkan.
Ketika agama telah terdominasi, maka ia tidak lagi menjadi kekuatan pembebas atas berbagai bentuk penindasan dan ketidakadilan, sebaliknya agama akan berkembang menjadi kekuatan yang menindas. Di pihak lain, adalah kewajiban moral agama untuk ikut mengarahkan politik agar tidak berkembang menurut seleranya sendiri yang bisa membahayakan kehidupan. Agar agama dapat menjalankan peran moral tersebut, maka agama harus dapat mengatasi politik, bukan terlibat langsung ke dalam politik praktis. Namun menjadi kekuatan moral yang mampu mengarahkan politik agar berkembang menjadi kekuatan yang menjunjung moral dan etika agama, masyarakat, dan hukum.
Hubungan antara agama dan politik perlu dicermati agar tidak sampai berjalan pada posisi yang salah. Salah satu ukuran atau kunci yang paling mudah dikenali agar kita dapat menarik batas moral agar kita tidak terjebak ke dalam arus politik kotor. Kalau kaum Buddhis dengan menghindari penggunaan kekerasan. Artinya politik yang harus dihindari adalah politik yang menyangkut perebutan kekuasaan melalui penggunaan kekerasan, termasuk dengan memperalat orang lain atau suatu organisasi, apalagi bila sudah menggunakan simbol-simbol agama yang bisa sangat menyesatkan.
Secara moral dan politis agama berada pada posisi yang benar pada saat agama tidak menjadi alat untuk memperebutkan atau mempertahankan status quo kekuasaan. Pada saat agama mengarah kepada politik kekuasaan, maka saat itulah agama dalam posisi yang berbahaya. Maka ada dua hal yang perlu diperhatikan, pertama bagaimana agama dapat membentengi diri mereka dari setiap kekuatan politik yang berkembang di sekitar mereka, sehingga agama dapat tetap menjadi kekuatan pembebas dan bukan sebaliknya menjadi yang dibebaskan atau pencipta masalah karena telah terdistorsi oleh kekuatan-kekuatan politik tersebut.
Kedua agar agama dapat memainkan peran moral untuk mengarahkan politik agar tidak berkembang menjadi kekuatan yang menyimpang dan menekan kehidupan. Tetapi kedua hal di atas hanya dapat berjalan dengan baik bila kita memiliki pemahaman yang cukup mendalam atas setiap proses politik yang berjalan. Tanpa adanya pemahaman atas proses politik, sulit bagi kita untuk membentengi diri karena proses pemahaman tersebut akan menimbulkan kepekaan nurani pada saat politik berjalan pada arah yang salah, sekaligus menimbulkan suatu perencanaan bagaimana arah politik yang seharusnya dan diharapkan, dengan mempertimbangkan nilai-nilai yang menjadi keyakinan kita, baik menyangkut rasa keadilan, kebenaran, dan kemanusiaan.

Pemimpin Indonesia mendatang harus menjawab empat tantangan yang mendasar. Pemimpin juga tidak boleh terlalu polos. Hal ini disampaikan oleh Tokoh Lintas Agama, Franz Magnis Suseno dalam diskusi bertajuk "Meneladani Misi Profetik dalam Kepemimpinan Nasional" di Megawati Institute, Jakarta.
Dari pandangannya, hubungan pemerintah pusat dan daerah merupakan tantangan pertama yang harus diselesaikan oleh pemimpin mendatang. "Desentralisasi betul secara prinsip, tapi caranya tidak benar," kata Romo Magnis.
Tantangan yang kedua adalah perekonomian rakyat. Menurutnya, sekitar 30 persen rakyat masih terjebak secara sprial dengan kondisi saat ini. Hal ini menyebabkan perekonomian mereka sulit berkembang.
"Yang ketiga, ancaman dari fanatisme agama. Persatuan bangsa terancam karena ini," kata Romo Magnis.
Menurutnya, peranan organisasi masyarakat keagamaan seperti NU atau Muhammadiyah memiliki peranan penting. "Ini sebuah modal sosial yang besar," ujarnya.
Tantangan yang keempat atau terakhir adalah memberantas korupsi. "Korupsi sudah jauh melampaui masalah moralitas. Itu sudah membusukkan bangsa dan merusak dari (lapisan) atas (masyarakat) hingga ke bawah," katanya.
Selain itu korupsi telah menghambat perkembangan pembangunan nasional. Sehingga masyarakat kembali menjadi korban secara tidak langsung dari perilaku tercela tersebut. "Kemampuan menangani korupsi adalah suatu tugas raksasa," ucapnya.

0 komentar: